Friday, February 13, 2009

Valentine

ADA APA DENGAN VALENTINE
Hari Valentine (bahasa Inggris: Valentine's Day), pada tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat. Asal-muasalnya yang gelap sebagai sebuah hari raya Katolik Roma didiskusikan di artikel Santo Valentinus. Beberapa pembaca mungkin ingin membaca entri Valentinius pula. Hari raya ini tidak mungkin diasosiasikan dengan cinta yang romantis sebelum akhir Abad Pertengahan ketika konsep-konsep macam ini diciptakan.
Hari raya ini sekarang terutama diasosiasikan dengan para pencinta yang saling bertukaran notisi-notisi dalam bentuk "valentines". Simbol modern Valentine antara lain termasuk sebuah kartu berbentuk hati dan gambar sebuah Cupido (Inggris: cupid) bersayap. Mulai abad ke-19, tradisi penulisan notisi pernyataan cinta mengawali produksi kartu ucapan secara massal. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia sekitar satu milyar kartu valentine dikirimkan per tahun. Hal ini membuat hari raya ini merupakan hari raya terbesar kedua setelah Natal di mana kartu-kartu ucapan dikirimkan. Asosiasi yang sama ini juga memperkirakan bahwa para wanitalah yang membeli kurang lebih 85% dari semua kartu valentine.
Di Amerika Serikat mulai pada paruh kedua abad ke-20, tradisi bertukaran kartu diperluas dan termasuk pula pemberian segala macam hadiah, biasanya oleh pria kepada wanita. Hadiah-hadiahnya biasa berupa bunga mawar dan cokelat. Mulai tahun 1980-an, industri berlian mulai mempromosikan hari Valentine sebagai sebuah kesempatan untuk memberikan perhiasan.
Sebuah kencan pada hari Valentine seringkali dianggap bahwa pasangan yang sedang kencan terlibat dalam sebuah relasi serius. Sebenarnya valentine itu Merupakan hari Percintaan, bukan hanya kepada Pacar ataupun kekasih, Valentine merupakan hari terbesar dalam soal Percintaan dan bukan berarti selain valentine tidak merasakan cinta.
Di Amerika Serikat hari raya ini lalu diasosiasikan dengan ucapan umum cinta platonik "Happy Valentine's", yang bisa diucapkan oleh pria kepada teman wanita mereka, ataupun, teman pria kepada teman prianya dan teman wanita kepada teman wanitanya
VALENTINE DIMATA ISLAM

Perayaan Valentine’s Say adalah Bagian dari Syiar Agama Nasrani
Valentine’s Day menurut literatur ilmiyah yang kita dapat menunjukkan bahwa perayaan itu bagian dari simbol agama Nasrani.
Bahkan kalau mau dirunut ke belakang, sejarahnya berasal ari upacara ritual agama Romawi kuno. Adalah Paus Gelasius I pada tahun 496 yang memasukkan upacara ritual Romawi kuno ke dalam agama Nasrani, sehingga sejak itu secara resmi agama Nasrani memiliki hari raya baru yang bernama Valentine’s Day.
The Encyclopedia Britania, vol. 12, sub judul: Chistianity, menuliskan penjelasan sebagai berikut: “Agar lebih mendekatkan lagi kepada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Encylopedia 1998).
Keterangan seperti ini bukan keterangan yang mengada-ada, sebab rujukannya bersumber dari kalangan barat sendiri. Dan keterangan ini menjelaskan kepada kita, bahwa perayaan hari valentine itu berasal dari ritual agama Nasrani secara resmi. Dan sumber utamanya berasal dari ritual Romawi kuno. Sementara di dalam tatanan aqidah Islam, seorang muslim diharamkan ikut merayakan hari besar pemeluk agama lain, baik agama Nasrani ataupun agama paganis (penyembah berhala) dari Romawi kuno.
Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 1-6)
Kalau dibanding dengan perayaan natal, sebenarnya nyaris tidak ada bedanya. Natal dan Valentine sama-sama sebuah ritual agama milik umat Kristiani. Sehingga seharusnya pihak MUI pun mengharamkan perayaan Valentine ini sebagaimana haramnya pelaksanaan Natal bersama. Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang haramnya umat Islam ikut menghadiri perayaan Natal masih jelas dan tetap berlaku hingga kini. Maka seharusnya juga ada fatwa yang mengharamkan perayaan valentine khusus buat umat Islam.
Mengingat bahwa masalah ini bukan semata-mata budaya, melainkan terkait dengan masalah aqidah, di mana umat Islam diharamkan merayakan ritual agama dan hari besar agama lain.
Valentine Berasal dari Budaya Syirik.
Ken Swiger dalam artikelnya “Should Biblical Christians Observe It?” mengatakan, “Kata “Valentine” berasal dari bahasa Latin yang berarti, “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Maha Kuasa”. Kata ini ditunjukan kepada Nimroe dan Lupercus, tuhan orang Romawi”.
Disadari atau tidak ketika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, berarti sama dengan kita meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”. Jelas perbuatan ini merupakan kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Icon si “Cupid (bayi bersayap dengan panah)” itu adalah putra Nimrod “the hunter” dewa matahari.
Disebut tuhan cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri. Islam mengharamkan segala hal yang berbau syirik, seperti kepercayaan adanya dewa dan dewi. Dewa cinta yang sering disebut-sebut sebagai dewa Amor, adalah cerminan aqidah syirik yang di dalam Islam harus ditinggalkan jauh-jauh. Padahal atribut dan aksesoris hari valentine sulit dilepaskan dari urusan dewa cinta ini.
Walhasil, semangat Valentine ini tidak lain adalah semangat yang bertabur dengan simbol-simbol syirik yang hanya akan membawa pelakunya masuk neraka, naudzu billahi min zalik.
Semangat valentine adalah Semangat Berzina
Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran sikap dan semangat. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih.
Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, petting bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang, bukan nafsu libido biasa.
Bahkan tidak sedikit para orang tua yang merelakan dan memaklumi putera-puteri mereka saling melampiaskan nafsu biologis dengan teman lawan jenis mereka, hanya semata-mata karena beranggapan bahwa hari Valentine itu adalah hari khusus untuk mengungkapkan kasih sayang.
Padahal kasih sayang yang dimaksud adalah zina yang diharamkan. Orang barat memang tidak bisa membedakan antara cinta dan zina. Ungkapan make love yang artinya bercinta, seharusnya sedekar cinta yang terkait dengan perasan dan hati, tetapi setiap kita tahu bahwa makna make love atau bercinta adalah melakukan hubungan kelamin alias zina. Istilah dalam bahasa Indonesia pun mengalami distorsi parah.
Misalnya, istilah penjaja cinta. Bukankah penjaja cinta tidak lain adalah kata lain dari pelacur atau menjaja kenikmatan seks?
Di dalam syair lagu romantis barat yang juga melanda begitu banyak lagu pop di negeri ini, ungkapan make love ini bertaburan di sana sini. Buat orang barat, berzina memang salah satu bentuk pengungkapan rasa kasih sayang. Bahkan berzina di sana merupakan hak asasi yang dilindungi undang-undang.
Bahkan para orang tua pun tidak punya hak untuk menghalangi anak-anak mereka dari berzina dengan teman-temannya. Di barat, zina dilakukan oleh siapa saja, tidak selalu Allah SWT berfirman tentang zina, bahwa perbuatan itu bukan hanya dilarang, bahkan sekedar mendekatinya pun diharamkan.
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS Al-Isra’: 32)
Diambil Dari Berbagai sumber

Sunday, February 1, 2009

MELEJITKAN POTENSI DIRI MELALUI ESQ

MELEJITKAN POTENSI DIRI MELALUI ESQ


Paradigma kehidupan dalam realitanya, menyisakan ruang yang memungkinkan terjadinya interaksi bilateral. Adanya baik-buruk, senang-sedih, kaya-miskin, memberi peluang besar bagi terwujudnya dinamisasi. Sudah pula menjadi hukum alam bahwa hidup bagaikan roda yang berputar dalam siklus tersendiri. Fluktuatifnya keimanan manusia, semakin menunjukkan bahwa keseluruhan proses hidup merupakan dinamika tersendiri.
IQ, EQ & SQ bisa digunakan dalam mengambil keputusan tentang hidup kita. Seperti yang kita alami setiap hari, keputusan yang kita buat berasal dari proses;
1. merumuskan keputusan
2. menjalankan keputusan otak eksekusi
3. menyikapi hasil pelaksanaan keputusan
Rumusan keputusan itu seyogyanya pada fakta yang kita temukan dan realitanya bukan berdasarkan pada kebiasaan pribadi suka atau tidak suka. Kita bisa menggunakan IQ yang menonjolkan kemampuan logika berfikir untuk menemukan fakta obyektif, akurat untuk memprediksi resiko, melihat konsekuensi dan setiap pilihan keputusan yang ada.
Rencana keputusan yang hendak kita ambil hasil dari penyaringan logika juga tidak begitu saja diterapkan semata-mata demi kepentingan dan keuntungan diri kita sendiri. Bagaimanapun, kita hidup bersama atau fungsi kita sebagai makhluk sosial dan dalam proses interaksi yang konstan dengan orang lain. Oleh sebab itu, salah satu kemampuan EQ yaitu kemampuan memahami (empati) kebutuhan dan perasaan orang lain menjadi faktor penting dalam menimbang dan memutuskan. Dalam penerapannya, kecerdasan emosi itu sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati (kegembiraan, kesedihan, kemarahan, dll) dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan mampu mengendalikan stress.
Kecerdasan emosi akan menunjuk kepada suatu kemampuan untuk memahami perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri dan menata dengan baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan orang lain. Sehingga tidak salah jika para ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa kecerdasan kognitif (IQ) itu hanya mempunyai peran 20% dalam keberhasilan hidup manusia, sedangkan sisannya yaitu 80% akan ditentukan oleh faktor-faktor lain, termasuk di dalamnya faktor yang terpenting adalah kecerdasan emosi (EQ). Bahkan Goleman menyebutkan bahwa kecerdasnan kognitif itu hanya mempunyai peran kedua setelah kecerdasan emosi dalam menentukan puncak prestasi dalam pekerjaan seseorang.
Kecerdasan emosi memiliki lima unsur pokok yang dibagi dua unsur kecakapan yang harus dibangkitkan secara optimal :
1. Kecakapan Pribadi (Personal Competence) yang meliputi;
a. Kesadaran Diri (Self – Awareness), mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusaan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Adapun unsur kesadaran diri yang harus diketahui adalah: a). Kesadaran emosi (emotional awareness), yaitu mengenali emosi diri sendiri dan efeknya. b). Penilaian diri secara teliti (accurate self-assessment), yaitu mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri. c). Percaya diri ( self confidence), yaitu keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.

b. Pengaturan Diri (Self Regulation), yaitu menangani emosi kita sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu segera pulih kembali dari tekanan emosi. Upaya pengaturan diri ini akan optimal jika didukung oleh : a). Kendali diri (Self Control), yaitu mampu mengelola emosi-emosi dan desakan-desakan hati yang merusak. b). Sifat dapat dipercaya (Trustworthiness), yaitu kemampuan untuk memelihara norma kejujuran dan integritas. c). Kehati-hatian (Conscientiousness), adalah bertanggung jawab atas kinerja pribadi, tidak menyalahkan orang lain. d). Adaptabilitas (Adaptability), yaitu keluwesan dalam menghadapi perubahan, tidak kaku atau bisa menerima perubahan positif. e). Inovasi (Innovation), yaitu mudah menerima perubahan dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasi-informasi baru.

c. Motivasi (Motivation), adalah menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu kita mengambl inisiatif dan bertidak sangat efektif,serta untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Ada empat kemampuan motivasi yang umumnya dimiliki seseorang, diantaranya adalah : a). Dorongan berprestasi, yaitu dorongan untuk meningkatkan kemampuan untuk memenuhi standard keunggulan. b). Komitmen, menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga. c). Inisiatif, adalah kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan. d). Optimisme, adalah kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada beberapa halangan dan suatu ketika kemungkinan kegagalan.

2. Kecakapan Sosial (Social Competence) yang meliputi;
a) Empati (Empathy), adalah merasakan yang dirasakan orang lan, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. Empati ada tiga macam: 1) Empati kognitif; mengetahui emosi atau suasana hati orang lain. 2) Empati partisipatoris; masuk ke dalam pengalaman subyektif orang lain. 3) Empati afektif; melakukan sesuatu seolah-olah ia berada dalam posisi orang itu : Membangkitkan “emosi” orang lain/memberikan alternative yang lebih baik.
Ciri-ciri empati:
• Ikut merasakan (sharing feeling), kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain.
• Dibangun berdasarkan kesadaran diri.
• Peka terhadap bahasa isyarat.
• Mengambil peran atau prilaku konkrit (role taking).
• Kontrol emosi, menyadari dirinya sedang berempati, tidak larut.
b) Ketrampilan Sosial (Social Skill), adalah memahami emosi dengan baik, baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan social; berinteraksi dengan lancar; menggunakan ketrampilan-ketrampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, serta untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim. Ada delapan masalah utama yang dihadapi dalam hubungan yaitu:
- Egoisme dan konfrontasi
- Tidak adanya kasih sayang dan kelembutan
- Tidak adanya rasa hormat dan saling menolong
- Mementingkan kepentingan sendiri
- Tidak adanya keseimbangan antara berbicara dan mendengarkan
- Tidak mengenal kompromi dan mengabaikan kesalahan
- Perasaan tertekan secara emosional
- Kepincangan antara harapan pibadi dan karier.
Untuk membangun hubungan sosial yang harmonis hendaknya memperhatikan dua hal . Pertama, citra diri, maksudnya mempersiapkan diri untuk membangun hubungan sosial. Kedua, kemampuan komunikasi, yakni keberhasilan untuk menjalin hubungan antar personal.

Menelaah jauh sebelum istilah kecerdasan spiritual (SQ) dipopulerkan pada tahun 1938. Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang didalamnya terkandung nilai-nilai: (1) nilai kreatif, (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seseorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis).
Kitapun sering menjumpai kenyataan, bahwa faktor Human Touch, turut mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang terhadap kita (perlakuan kita, ide-ide atau bahkan bantuan yang kita tawarkan kepada mereka). Salah satu contoh konkret di Indonesia, budaya “kekeluargaan” sangat kental mendominasi dan mempengaruhi perjanjian bisnis, atau bahkan penyelesaian konflik.
Penelitian yang dilakukan Neuropsikolog Michael Pessinger di awal tahun 1990-an, Neurolog V.S. Ramachandran bersama timnya di Universitas California, telah menemukan keberadaan "titik Tuhan" (God spot) dalam lobus temporal pada otak manusia. Titik Tuhan itu merupakan pusat spiritual setiap insane. Keberadaan "Titik Tuhan" menunjukkan bahwa otak telah berkembang untuk menanyakan "pertanyaan-pertanyaan pokok", untuk memiliki dan menggunakan kepekaan terhadap makna dan nilai yang lebih luas.
"Kehadiran" Tuhan di otak merupakan suatu hal yang sangat menarik. Bukan saja karena otak adalah CPU (Central Processing Unit)-nya manusia, melainkan juga karena isi dan fungsi otak merupakan pembentuk sejarah hidup pemiliknya maupun sejarah kehidupan itu sendiri. Ada tiga fungsi yang diperankan oleh otak dan membuatnya berbeda dengan yang lain: (1) fungsi emosi, (2) fungsi rasional, dan (3) fungsi spiritual.
Terkait dengan fungsi yang ketiga, yaitu mencakup hal-hal yang bersifat supernatural dan religius. Fungsi ini hendak menegaskan bahwa keberadaan Tuhan adalah sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu dipermasalahkan. Keberadaan Tuhan ditampakkan dalam kesempurnaan jalinan dan jaringan saraf manusia.
Kecerdasan Spiritual atau Spiritual Quotient (SQ), yang secara biologis dibuktikan dengan keberadaan "titik Tuhan" dalam struktur otak manusia, adalah kecerdasan yang berkaitan dengan hal-hal transenden, hal-hal yang mengatasi waktu dan ruang. Ia melampaui kekinian dan pengalaman manusia. Ia adalah bagian terdalam dan terpenting dari manusia. Ia menjadikan manusia cerdas secara spiritual dalam beragama. Ia juga membawa kita ke jantung segala sesuatu, ke kesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. SQ mampu menghubungkan kita dengan makna dan ruh esensial dalam agama. Seseorang yang memiliki SQ yang tinggi mampu menjalankan ajaran agamanya secara optimal dan maksimal, namun tidak secara picik, eksklusif, fanatic, atau prasangka.
Optimalisasi otak spiritual juga dapat membuat seseorang cerdas secara utuh. Paling tidak, terdapat tiga komponen hidup yang lahir dari optimalisasi itu yaitu (1) kejernihan berpikir secara rasional, (2) kecakapan emosi, dan (3) ketenangan hidup. Ketenangan hidup merupakan hasil akhir yang paling tinggi nialinya dari otak spiritual. Sebab kecerdasan rasional dan kecakapan emosi tidak akan berarti apa-apa bila seseorang tidak memiliki ketenangan hidup. Melatih otak terus menerus dan membiasakannya untuk merenung akan membuat hati tenang dan bercahaya. Kecemasan dan ketegangan dapat dihilangkan dengan membiarkan otak menemukan dimensi spiritual yang dimilikinya.
Beberapa kegiatan yang dapat mengoptimalkan kecerdasan spitual antara lain;
1. Melihat secara utuh. Mana yang disebut mata batin? Jika mata lahir memiliki jalur saraf dan pusat penglihatan di otak, apakah demikian juga mata batin? Jawabannya, ya. Mata batin memiliki pusat di otak spiritual. Otak spiritual memadukan semua informasi yang diserap. Jika pohon yang dilihat, yang tampak adalah kepaduan dan kesatuan seluruh bagiannya. Melihat dengan mata batin berarti melihat secara utuh. Pengaktifan mata batin dan otak spiritual akan menghilangkan pikiran-pikiran fragmentaris.
2. Melihat di balik penampilan objektif. Melihat dengan mata batin juga berarti melihat sesuatu dibalik penampakan fisik objektif merupakan fakta yang tidak ditolak oleh mata batin. Jika seseorang melihat pohon, yang tampak adalah pohon dan segala kehidupan yang ada "di balik" pohon tersebut.
3. Luangkan waktu jeda 10 menit setiap hari.
Tubuh fisik manusia sebenarnya tidak pernah beristirahat. Tidur tidak berarti organ tubuh maupun sel-sel tubuh beristirahat. Otak bahkan bekerja lebih aktif dalam mengonsolidasikan informasi justru ketika orang sedang tidur. Luangkan waktu jeda dari kepenatan pekerjaan sehari-hari untuk men-charger otak spiritual. Berdiam diri di dalam kamar/musholla, berdzikir kepada yang khaliq dan bertafokur secara mendalam.

Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang kita miliki, melalui upaya belajar (learning to do), learning to know (IQ), learning to be (SQ), dan learning to life together (EQ).
ESQ merupakan sebuah perangkat spiritual engineering dalam hal pengembangan karakter dan kepribadian berdasarkan nilai-nilai Rukun Iman, Rukun Islam dan Ihsan, yang pada akhirnya akan menghasilkan manusia unggul di sektor emosi dan spiritual, yang mampu mengeksplorasi dan menginternalisasi kekayaan ruhiah, fikriyah dan jasadiah dalam hidupnya. Melalui usaha yang terus-menerus maka terbentuklah pemahaman, visi, sikap terbuka, integritas. Konsisten dan sifat kreatif yang didasari atas kesadaran diri yang sesuai dengan suara hati terdalam, yang pada akhirnya akan menjadikan Islam tidak sebatas agama spiritual namun juga “The Way of Life”.
Berikut ini adalah upaya-upaya yang bisa kita lakukan untuk menggali potensi diri kita yang sebelumnya sudah ada, melalui ESQ namun kita tidak menyadarinya :
1) Lahirnya alam bawah sadar yang jernih dan suci atau dengan suara hati yang terletak pada god spot yaitu kembali pada hati yang bersifat merdeka serta bebas dari belenggu. Tahap ini merupakan titik telaah dari sebuah kecerdasan spiritual.
2) Menjadikan suara hati sebagai landasan SQ dan dari sinilah awal kecerdasan spiritual ini mulai dibangun. Manusia disini memiliki nilai yang 1 ( satu ) bersifat universal dan ihsan (indah).
3) kesadaran diri (self conciorness ), yaitu tentang arti penting dimensi mental sehingga dapat melahirkan format EQ berdasarkan kesadaran spiritual serta sesuai dengan suara hati terdalam dari dalam diri manusia (self conscience ).
4) pengasahan hati yang dilakukan secara berurutan dan sangat sistematis berdasarkan rukun islam.
Untuk meraih kesuksesan hidup bukanlah hanya ditentukan oleh kecerdasan IQ saja, melainkan justru lebih ditentukan oleh faktor-faktor lain, terutama EQ dan SQ. [Info: berbagai sumber]

IQ, EQ & SQ

HUBUNGAN KERJA ANTARA IQ, EQ & SQ


Kecerdasan yang dimiliki manusia merupakan sejumlah potensi insani yang bisa membawa kita pada puncak keberhasilan. Sebagai manusia yang memiliki kecerdasan tersebut, faktanya kecerdasan kita hanya 42% yang dibawa dari lahir, sementara sisanya, 58% merupakan hasil dari proses belajar. Baik kecerdasan itu berupa IQ, EQ, SQ dan lain sebagainya. Namun dalam hingga saat ini kecerdasan yang masih dianggap berpengaruh penting dalam keberhasilan berupa Intellegent Quotient, Emotional Quotient dan Spiritual Quotient, atau kecerdasan otak, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan otak mencakup unsur logis (matematika) dan linguistik (verbal atau bahasa). Kecerdasan emotional mencangkup unsur interpersonal dan intrapersonal. Sementara kecerdasan spiritual adalah bagaimana mengkhayati dan mengabdikan diri –beribadah- kepada khalik (sang pencipta).
Antara kecerdasan emosi (EQ), kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan intelektual (IQ) sangat berkaitan erat satu dengan yang lain. Maka hasilnya adalah IQ, EQ & SQ yang terintegrasi pada saat masalah datang maka radar hati bereaksi menangkap signal. Karena berorientasi pada materialisme maka emosi yang dihasilkan adalah emosi yang tidak terkendali, sehingga menghasilkan sikap-sikap sebagai berikut: marah, sedih, kesal dan takut. Akibat emosi yang tidak terkendali god spot menjadi terbelenggu atau suara hati tidak memiliki peluang untuk muncul. Bisikan suara hati inilah yang bersifat mulia tidak lagi bisa didengar dan menjadi tidak berfungsi, ini mengakibatkan ia tidak mampu berkolaborasi dengan piranti kecerdasan yang lain karena suara hati tertutup. Maka yang paling memegang peranan penting adalah emosi. Emosilah yang memberi perintah kepada sektor kecerdasan intelektual (IQ). IQ akan menghitung, tetapi berdasarkan dorongan kemarahan, kekecewaan, kesedihan, iri hati dan kedengkian. Bayangkanlah apa yang akan terjadi kemudian!!
Kasus lain, ketika masalah atau tantangan muncul radar lain langsung menangkap getaran signal. Ketika signal itu menyentuh dinding tauhid, kecerdasan tauhid mengendalikan emosi, hasilnya adalah emosi yang terkendali seperti rasa tenang dan damai. Dengan ketenangan emosi yang terkendali itu maka god spot atau pintu hati terbuka dan bekerja, terdengarlah bisikan-bisikan illahi yang mengajak kita kepada sifat-sifat keadilan, kasih sayang, kejujuran, tanggung jawab, kepedulian, kreativitas, komitmen, kebersamaan, perdamaian dan bisikan hati mulia lainnya. Berdasarkan bisikan dorongan mulia itulah potensi kecerdasan intelektualitas yang berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kejujuran dan tanggung jawab, lahirlah sebuah meta kecerdasan yaitu integrasi EQ, IQ & SQ.
Kemampuan untuk mengetahui banyak hal secara ilmiah, disebut kecerdasan intelektual. Sedangkan kapasilitas untuk mengembangkan interaksi sosial secara positif dan mendukung potensi insani lainnya disebut kecerdasan emotional. Dan jenis kecerdasan yang banyak berpengaruh atas prestasi spiritual seseorang yaitu kecerdasan spiritual.
Penggabungan antara kecerdasan spiritual dengan kecerdasan intelektual dalam berbagai hal akan melahirkan “idealisme” dalam diri yang dalam konstektualnya lebih benyak membentuk wilayah-wilayah individual (catra pribadi). Sedangkan penggabungan antara ketiga kecerdasan tersebut yakni intelektual-spiritual dan emosional memunculkan tipe-tipe kecerdasan baru hingga pencapaian kecerdasan dialektis.
Perlu diakui bahwa IQ, EQ & SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconnected) didalam diri kita, sehingga tidak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan orang lain tetap membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan yang tetap membutuhkan otak dan perasaan. Seperti kata Thomas Jefferson atau Anthoni Robbins meskipun keputusan yang dibuat harus berdasarkan pengetahuan dan keyakinan sekuat batu karang, tetapi pada pelaksanaannya, perlu dijalankan se-fleksibel orang berenang. [Info: Berbagai Sumber]