Friday, January 15, 2010

PORNOGRAFI

PORNOGRAFI
DI LAYAR KACA


Kekacuan dunia pertelevisian yang mempertontonkan hingar bingar dunia pornografi telah mengkontaminasi proses keremajaan siswa, pelajar tak halnya korban kontaminasi tersebut, tragis dan ironis memang, mengabaikan proses belajar disekolah tak jarang ditingalkan demi mata acara televisi tersebut, hinga sebua atanan sosial budaya timur kita telah dirusak. Yang aneh lagi tak ada

Proses Tayangan Pornografi
Muncul dugaan di benak kita khusunya peminat acara telivisi, banyaknya film Indonesia, hanya sebagai trend zaman hegomia kita, dan makin terlihatnya gaya hidup metropolisme. Tayangan pada layar kaca memang begitu banyak mewarnai hiasan layar kaca, di tengah malam menemani para penonton setianya, bersama dengan film-film barat lainnya, membuat peridustrian televisi dan film mempunyai kaitan yang begitu erat.
Ketereratan film seronok dengan televisi, memang mempunyai sejarah menarik. Pada awalnya telivisi mengambil film tersebut, didorong biaya pengambilan film tersebut memang sedemikian murah. Sedangkan di pasaran bioskop, film-fim tersebut dinilai kurang laku. Akhirnya proses demikanlah yang memacuh proses fonemena marakanya pornografi di layar kaca.
Dugaan baru, munculnya peridustrian perfilman yang berani menampilkan adegan seronok, baru dimulai pada dekade tahun-tahun ini, merupakan hal yang keliru. Film-film jauh sebelumnya sudah ada sejak tahun delapan puluhan. Ketatnya dalam meraih konsumen film, pada zaman tersebut memaksa para industriawan perfilman kita, lebih mengandalkan kemenarikan film tersebut, khusunya adegan-adegan yang panas, bukan lagi kualitas jalan ceritanya. Inovasinya, bagaimana film ini laku dan menarik ?
Biasanya film tersebut banyak dibintangi pemain-pemain, yang berani melakukan adegan-adegan ala sex dan memancing syahwat alias hot. Misalnya bintang kenamaan Serli Marselina, artis Bom Sex kita dahulu, Ineke Khoshorawati, dan masih banyak lagi yang lainya. Begitulah sejarah perfilman kita pada era delapan puluhan sampai sembilan puluhan. Hingga film tersebut sudah tidak laku di bioskop-bioskop kota.
Pada dekade tahun 60 dan 80, media telivisi hanya satu yaitu hanya Telivisi Republik Indonesia ( TVRI). Pada waktu dekade tersebut kita nampaknya harus bangga dengan TVRI. Karena muatannya hiburan, pendidikan dan informasi, masih begitu kental. Keberadaan telivisi sampai batas itu kurang begitu berpengaruh pada prilaku masyarakat pada umumnya. Hingga pada awal tahun 90 sampai tahun 2000. Telivisi banyak bermunculan, hingga menimbulkan persaingan ketat seperti persaingan film-film bombastis seperti itu.
Keberadaan demikian, ternyata membuat para instansi pertelivisian, akhirnya lebih menonjolkan gaya komersialisasi terhadap iklan, dan menonjolkan paparan yang kurang mendidik. Seperti apa yang pernah dijelaskan oleh ketua LSI (Lembaga Sensor Film Indonesia ), yang dikutip dari wawancara eksklusif pada tayangan program “Topik Minggu Ini” di SCTV.
Keberanian menayangkan film-film panas, masih berlangsung hingga sekarang, dan merambah juga pada telivisi lainnya. Belum lagi distribusi film asing. Begitu banyak film barat-barat, memperparah tayangan-tayangan yang kontroversial dengan budaya “Ketimuran Indonesia”. Hal ini menjadi incaran para penggila acara ini, makin terpukau akan hal ini.
Menayangkan program berbau pornografi juga bukan film saja. Banyak juga acara miniseri, infotaimen dan cerita lainya, mewarnai pertelevisian kita. Sebut saja tayangan Komedi Tengah Malam di Lativi, Nah Ini Dia di SCTV, Fenomena di TransTV, dan masih banyak lagi. Sungguh sangat kita sayangkan. Pantas jika para ulama dan LSM-LSM mengecam akan hal ini, sekali lagi para generasi yang akan menjadi sebuah korban tayangan telivisi yang kurang mendidik ini.
Hal ini ternyata kurang mendapat perhatian khusus dari pemerintah, terlebih lagi pada Lembaga kita yaitu LSI. Nampaknya LSI kita tidak mempunyai kekuatan, untuk lebih mempertajam gunting sensornya. Sehingga acara-acara itu sudah terbilang menjamur dan menjadi komoditi yang wajib terlayani oleh penggilanya, khusnya para remaja dibawah umur.
Bila sejenak kita lebih melihat situasi tayangan pertelevisian Indonesia, tayangan pornografi bukan saja ada pada tengah malam. Namun kali ini juga sudah tak segan-segan telah ditayangan di setiap sela-selah waktu. Buktinya adalah Sinetron, film komedi, dan serial televisi lain-lainnya. Tak sampai dengan itu saja, tayangan panggung musik pun sering mengumbar sensualitas para biduannya.
Makin gencarnya tontonan seperti di atas terlebih-lebih lagi adalah sinetron, benar adanya penuh muatan tontonan pornogrtafi. Simbul adat ketimuran kita telah lebur, bersama wacana yang dicontohkan pada kehidupan dunia maya ini (miniatur). Terus menggiring kita pada arah sebuah bentuk peniruan dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Walaupun butuh proses yang panjang, kenyataannya kita telah mencotoh dan mempraktekan hal-hal yang ada dilayar televisi. Hal ini sangat berbahaya, bila akhlak sudah tercampur akan nilai wacanah pertelevisian tersebut.
Buktinya, dalam hal pakaian, prilaku ataupun pergaulan yang makin bebas. Kini sudah begitu banyak terlihat, kalangan insan muda di sekolah telah begitu kongkrit memprakterkan gaya pergaulan artis pujaannya di layar kaca. Tak hanya itu saja, pun berpacaran. Di usia sedini tersebut berpacaran ala sinetron pertelevisian, gencar dilakukan, demi meniru pujaan TV dan dianggap penggemar tulen.
Dalam hal berpakaian juga tak luput dari indikasi tayangan. Berbusana yang kurang seragam waktu disekolah, sering diperlihatkan. Fungsi pakaian muslim beruba menjadi area penunjukan seksualitas. Pakaian seragam ala metropolis tak jarang dijumpa, belum lagi pada busana yang dilkenakan diluar sekolah. Inilah trik insan pertelevisian, yang sering menayangkan kepada khlayak pemirsanya, dengan satu tujuan komerialiasiasi iklan.

Terkontaminasinya Tatanan Prilaku Remaja
Berpengaruhnya dominisi acara telivisi pada tatanan berprilaku, nampaknya diubah menjadi komiditi yang sangat menguntungkan. Ironisnya komoditi tersebut, dijawab dengan tayangan yang kurang mendididik, khusunya tayangan program kental dan sarat akan muatan pornografi. Inilah wacana televesi kita yang begitu mengharukan dan berubah terindikasi oleh persaingan yang mulai berubah, dari tayangan yang mendidik, menjadi tayangan perusak tatanan generasi kita.
Pengaruh tayangan telivisi sampai saat ini menjadi penyulut utama, mengapa para generasi mudah melupakan eksistensi norma-norma luhur bangsa Indonesia yang agamis. Pengonsumsian dan klasifikasilah yang juga berperan. Bukan hal yang tidak mungkin, kalau prosesi pendidikan senyatanya lebih sulit diterima oleh memori otak pelajar, daripada nonton film. Convious pernah bertutur, “Apa yang saya dengar saya lupa, apa yang saya lihat saya ingat dan apa yang saya kerjakan saya faham”. Ini tentulah sangat mendukung prosesi pengendapan informasi. Terutama dari film, yang sangat mendukung proses audio fisual (dilihat dan didengar), sedangkan prosesi pendidikan, selama ini masih sering berkutat pada proses mendengar saja. Waktu pun menjadi hal yang patut dipertimbangkan. Pasalnya durasi pendidikan, dengan durasi melototi film, sangat jelas tidak seimbang.
Sangat ironis. Pengendapan pun dialamai oleh oleh konsumen di bawah umur, senyata juga direalisasi oleh mereka. Yang terjadi, serabut sensorik, telah dikuasi oleh acting-acting porno, fulgar dan tidak mendidik pada pola kemajuan akhlak. Malah menjerumuskan pada pola tindakan seksual, kian bermotif.
Dalam dunia pendidikan, variety film juga ikut mengambil andil besar. Banyak sekali tingkah laku pelajar sekolah, yang juga ikut-ikutan, pada pelakonan film.
Berpakaian dan asesoris menjadi ajang yang layang pandang. Cara dan model pakaian, yang diadopsi dari para centre society, menggema keras yang menggesek proyeksi tata tertib sekolah. Maka banyak sekali pelanggaran harus ditampakkan disana-sini, yang kian menambah komposisi, pelanggaran di dunia pendidikan.
Sehingga komplek sekali, buka’-buka’an aurat para pemuda usia sekolah. Meski dilakukan secara sederhana. Pacaran pun hal yang sangat disoroti di kursi sekolah. Pacaran bebas, yang memudarkan nilai agama, yang kerap terjadi, ditengarai oleh kian liberalnya dunia film, yang menyaksikan film-film ala seks.
Perilaku, pun tidak kalah ketinggalan. Maka pantas kalau Drs. Syamsul Hadi, mengatakan bahwa siswa/siswi lebih patuh pada ajaran yang disampaikan lewat TV, daripada pituduh Bapak/Ibu guru. Padahal, guru-guru merupakan orang tua di sekolah, yang berarti digugu dan ditiru, pituduh dan nasehatnya, ucap pak Syamsul sembari kesal.
Melihat perjalan sang remaja kita, memang penuh dengan pengaruh-pengaruh film. Bergaul sampai sat ini sudah kelewat batas. Wacana pendidikan agamapun luntur dan ditanggalkan begitu saja dalam masyarakat metropolis, kemudian merambah pada daerah pedesaan. Pemuda desa pun mengamini dan mengesahkan hal itu tanpa disaring lebih dahulu. Mendiskripkan tayangan di televisi sah-sah saja walaupun masih belum begitu terlihat. Namun secara terselebung mereka (pelajar) mempunyai benak seperti itu, disadari atau tidak.
Drs. H Moh Amin AZA, guru agama kita, pun pernah mengatakan saat menyikapi permasalahan tersebut di selah waktu mengajarnya. Beliau menjelaskan, media televisi sangat berpengaruh pada kehidupan kalangan remaja atau pelajar, terutama pada prilaku, berbusana, pergaulan dan gaya hidup, yang mencerminkan kebebasan bergaul dalam tanda kutip berpacaran.
Himbauan itu, bukanlah bentuk aturan. Lebih dari itu, sebagai pengingat ternyata secara tidak langsung tontonan tersebut telah mengendalikan kita. Rasanya kurang hari-hari kita tanpa melihat tayangan dalam pertelevisian, hingga melupakan proses belajar. Mengapa demikian ?
Berputarnya acara film di layar kaca selama durasi waktu tertentu, merupakan sistem pengajaran yang sangat efektif dan efesien. Pasalnya, sistem rancang demikian, menjadi sasaran pengajaran yang selama ini sedang gencar-gencarnya dilakukukan oleh pemerintah Indonesia, yakni Kompetensi.
Hasil pun tidak akan jauh berbeda dengan sasaran yang diharapkan dengan pengajaran yang dilakukan di kursi pendidikan formal. Hasil itu berupa pengendapan hasil penginderaan pada layar kaca, pada masing-masing memori, dengan kadar yang lebih mempuni, ketimbang hanya dari cerita dari mulut ke mulut.

Peran Sekolah
Otak yang masih kental akan pengaruh tayangan TV nampak terlihat jelas. Namun sampai saat ini adakah penanganan, untuk mengurangi tayangan pornografi di layar televisi, setidaknya mampu menghindarkan para remaja sekolah agar tidak terkontaminasi tayangan tersebut ???
Sekolah yang menjadi naungan menimbah ilmu, nampaknya harus mendominisi. Katakanlah menjadi resep pengurang penyakit ini dengan memberikan doktrin-doktrin untuk menghindari hal tersebut. Namun peranan sekolah nampaknya kurang mampu. Akan hal ini, agensi-agensi guru nampaknya diacuhkan begitu saja, karena disana sini masih banyak terjadi wabah fenomena seperti ini
Kurangya jangkuan sekolah ke wilayah gerak siswa dilingkup masyarakat umum, menjadi kendala utama. Kurangnya koordinasi sekolah dengan para wali siswa, menjadi batu sandungan utama. Orang tua kurang dinilai sekolah untuk memberikan atau mencegah ketimpangan ini.
Akar permasalahan ini harus cepat dihilangkan, sebelum bangsa kita menumpuk generasi yang rusak. Sekolah dan peran orang tua harus lebih dioptimalkan, jika sekolah mampu memberikan tatanan moral pada garis teretorial sekolah, orang tua juga harus menopang dari segi lingkup umum. “Era seperti ini tak halnya kita adalah sebagi lambang supermasi kebudayaan kita, maka jika kita mengasumsikan budaya pornografi sebagai libelarisme, maka keterpurukan ini adalah sebagai kekeliruan yang paling fatal”, ujar Gali (nama samaran), anak kelas 2 Ak 1 pada kami, saat papar pendapat dengan salah satu temannya.
Menumpuknya batu pornografi seharusnya dihentikan, setelah sekolah sudah berusaha dengan orang tua kini saatnya pemarintah lewat LSI harus cepat mengatasinya dengan memberantas tontonan tersebut.