MELEJITKAN POTENSI DIRI MELALUI ESQ
Paradigma kehidupan dalam realitanya, menyisakan ruang yang memungkinkan terjadinya interaksi bilateral. Adanya baik-buruk, senang-sedih, kaya-miskin, memberi peluang besar bagi terwujudnya dinamisasi. Sudah pula menjadi hukum alam bahwa hidup bagaikan roda yang berputar dalam siklus tersendiri. Fluktuatifnya keimanan manusia, semakin menunjukkan bahwa keseluruhan proses hidup merupakan dinamika tersendiri.
IQ, EQ & SQ bisa digunakan dalam mengambil keputusan tentang hidup kita. Seperti yang kita alami setiap hari, keputusan yang kita buat berasal dari proses;
1. merumuskan keputusan
2. menjalankan keputusan otak eksekusi
3. menyikapi hasil pelaksanaan keputusan
Rumusan keputusan itu seyogyanya pada fakta yang kita temukan dan realitanya bukan berdasarkan pada kebiasaan pribadi suka atau tidak suka. Kita bisa menggunakan IQ yang menonjolkan kemampuan logika berfikir untuk menemukan fakta obyektif, akurat untuk memprediksi resiko, melihat konsekuensi dan setiap pilihan keputusan yang ada.
Rencana keputusan yang hendak kita ambil hasil dari penyaringan logika juga tidak begitu saja diterapkan semata-mata demi kepentingan dan keuntungan diri kita sendiri. Bagaimanapun, kita hidup bersama atau fungsi kita sebagai makhluk sosial dan dalam proses interaksi yang konstan dengan orang lain. Oleh sebab itu, salah satu kemampuan EQ yaitu kemampuan memahami (empati) kebutuhan dan perasaan orang lain menjadi faktor penting dalam menimbang dan memutuskan. Dalam penerapannya, kecerdasan emosi itu sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati (kegembiraan, kesedihan, kemarahan, dll) dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan mampu mengendalikan stress.
Kecerdasan emosi akan menunjuk kepada suatu kemampuan untuk memahami perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri dan menata dengan baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan orang lain. Sehingga tidak salah jika para ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa kecerdasan kognitif (IQ) itu hanya mempunyai peran 20% dalam keberhasilan hidup manusia, sedangkan sisannya yaitu 80% akan ditentukan oleh faktor-faktor lain, termasuk di dalamnya faktor yang terpenting adalah kecerdasan emosi (EQ). Bahkan Goleman menyebutkan bahwa kecerdasnan kognitif itu hanya mempunyai peran kedua setelah kecerdasan emosi dalam menentukan puncak prestasi dalam pekerjaan seseorang.
Kecerdasan emosi memiliki lima unsur pokok yang dibagi dua unsur kecakapan yang harus dibangkitkan secara optimal :
1. Kecakapan Pribadi (Personal Competence) yang meliputi;
a. Kesadaran Diri (Self – Awareness), mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusaan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Adapun unsur kesadaran diri yang harus diketahui adalah: a). Kesadaran emosi (emotional awareness), yaitu mengenali emosi diri sendiri dan efeknya. b). Penilaian diri secara teliti (accurate self-assessment), yaitu mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri. c). Percaya diri ( self confidence), yaitu keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.
b. Pengaturan Diri (Self Regulation), yaitu menangani emosi kita sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu segera pulih kembali dari tekanan emosi. Upaya pengaturan diri ini akan optimal jika didukung oleh : a). Kendali diri (Self Control), yaitu mampu mengelola emosi-emosi dan desakan-desakan hati yang merusak. b). Sifat dapat dipercaya (Trustworthiness), yaitu kemampuan untuk memelihara norma kejujuran dan integritas. c). Kehati-hatian (Conscientiousness), adalah bertanggung jawab atas kinerja pribadi, tidak menyalahkan orang lain. d). Adaptabilitas (Adaptability), yaitu keluwesan dalam menghadapi perubahan, tidak kaku atau bisa menerima perubahan positif. e). Inovasi (Innovation), yaitu mudah menerima perubahan dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasi-informasi baru.
c. Motivasi (Motivation), adalah menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu kita mengambl inisiatif dan bertidak sangat efektif,serta untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Ada empat kemampuan motivasi yang umumnya dimiliki seseorang, diantaranya adalah : a). Dorongan berprestasi, yaitu dorongan untuk meningkatkan kemampuan untuk memenuhi standard keunggulan. b). Komitmen, menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga. c). Inisiatif, adalah kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan. d). Optimisme, adalah kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada beberapa halangan dan suatu ketika kemungkinan kegagalan.
2. Kecakapan Sosial (Social Competence) yang meliputi;
a) Empati (Empathy), adalah merasakan yang dirasakan orang lan, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. Empati ada tiga macam: 1) Empati kognitif; mengetahui emosi atau suasana hati orang lain. 2) Empati partisipatoris; masuk ke dalam pengalaman subyektif orang lain. 3) Empati afektif; melakukan sesuatu seolah-olah ia berada dalam posisi orang itu : Membangkitkan “emosi” orang lain/memberikan alternative yang lebih baik.
Ciri-ciri empati:
• Ikut merasakan (sharing feeling), kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain.
• Dibangun berdasarkan kesadaran diri.
• Peka terhadap bahasa isyarat.
• Mengambil peran atau prilaku konkrit (role taking).
• Kontrol emosi, menyadari dirinya sedang berempati, tidak larut.
b) Ketrampilan Sosial (Social Skill), adalah memahami emosi dengan baik, baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan social; berinteraksi dengan lancar; menggunakan ketrampilan-ketrampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, serta untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim. Ada delapan masalah utama yang dihadapi dalam hubungan yaitu:
- Egoisme dan konfrontasi
- Tidak adanya kasih sayang dan kelembutan
- Tidak adanya rasa hormat dan saling menolong
- Mementingkan kepentingan sendiri
- Tidak adanya keseimbangan antara berbicara dan mendengarkan
- Tidak mengenal kompromi dan mengabaikan kesalahan
- Perasaan tertekan secara emosional
- Kepincangan antara harapan pibadi dan karier.
Untuk membangun hubungan sosial yang harmonis hendaknya memperhatikan dua hal . Pertama, citra diri, maksudnya mempersiapkan diri untuk membangun hubungan sosial. Kedua, kemampuan komunikasi, yakni keberhasilan untuk menjalin hubungan antar personal.
Menelaah jauh sebelum istilah kecerdasan spiritual (SQ) dipopulerkan pada tahun 1938. Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang didalamnya terkandung nilai-nilai: (1) nilai kreatif, (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seseorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis).
Kitapun sering menjumpai kenyataan, bahwa faktor Human Touch, turut mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang terhadap kita (perlakuan kita, ide-ide atau bahkan bantuan yang kita tawarkan kepada mereka). Salah satu contoh konkret di Indonesia, budaya “kekeluargaan” sangat kental mendominasi dan mempengaruhi perjanjian bisnis, atau bahkan penyelesaian konflik.
Penelitian yang dilakukan Neuropsikolog Michael Pessinger di awal tahun 1990-an, Neurolog V.S. Ramachandran bersama timnya di Universitas California, telah menemukan keberadaan "titik Tuhan" (God spot) dalam lobus temporal pada otak manusia. Titik Tuhan itu merupakan pusat spiritual setiap insane. Keberadaan "Titik Tuhan" menunjukkan bahwa otak telah berkembang untuk menanyakan "pertanyaan-pertanyaan pokok", untuk memiliki dan menggunakan kepekaan terhadap makna dan nilai yang lebih luas.
"Kehadiran" Tuhan di otak merupakan suatu hal yang sangat menarik. Bukan saja karena otak adalah CPU (Central Processing Unit)-nya manusia, melainkan juga karena isi dan fungsi otak merupakan pembentuk sejarah hidup pemiliknya maupun sejarah kehidupan itu sendiri. Ada tiga fungsi yang diperankan oleh otak dan membuatnya berbeda dengan yang lain: (1) fungsi emosi, (2) fungsi rasional, dan (3) fungsi spiritual.
Terkait dengan fungsi yang ketiga, yaitu mencakup hal-hal yang bersifat supernatural dan religius. Fungsi ini hendak menegaskan bahwa keberadaan Tuhan adalah sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu dipermasalahkan. Keberadaan Tuhan ditampakkan dalam kesempurnaan jalinan dan jaringan saraf manusia.
Kecerdasan Spiritual atau Spiritual Quotient (SQ), yang secara biologis dibuktikan dengan keberadaan "titik Tuhan" dalam struktur otak manusia, adalah kecerdasan yang berkaitan dengan hal-hal transenden, hal-hal yang mengatasi waktu dan ruang. Ia melampaui kekinian dan pengalaman manusia. Ia adalah bagian terdalam dan terpenting dari manusia. Ia menjadikan manusia cerdas secara spiritual dalam beragama. Ia juga membawa kita ke jantung segala sesuatu, ke kesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. SQ mampu menghubungkan kita dengan makna dan ruh esensial dalam agama. Seseorang yang memiliki SQ yang tinggi mampu menjalankan ajaran agamanya secara optimal dan maksimal, namun tidak secara picik, eksklusif, fanatic, atau prasangka.
Optimalisasi otak spiritual juga dapat membuat seseorang cerdas secara utuh. Paling tidak, terdapat tiga komponen hidup yang lahir dari optimalisasi itu yaitu (1) kejernihan berpikir secara rasional, (2) kecakapan emosi, dan (3) ketenangan hidup. Ketenangan hidup merupakan hasil akhir yang paling tinggi nialinya dari otak spiritual. Sebab kecerdasan rasional dan kecakapan emosi tidak akan berarti apa-apa bila seseorang tidak memiliki ketenangan hidup. Melatih otak terus menerus dan membiasakannya untuk merenung akan membuat hati tenang dan bercahaya. Kecemasan dan ketegangan dapat dihilangkan dengan membiarkan otak menemukan dimensi spiritual yang dimilikinya.
Beberapa kegiatan yang dapat mengoptimalkan kecerdasan spitual antara lain;
1. Melihat secara utuh. Mana yang disebut mata batin? Jika mata lahir memiliki jalur saraf dan pusat penglihatan di otak, apakah demikian juga mata batin? Jawabannya, ya. Mata batin memiliki pusat di otak spiritual. Otak spiritual memadukan semua informasi yang diserap. Jika pohon yang dilihat, yang tampak adalah kepaduan dan kesatuan seluruh bagiannya. Melihat dengan mata batin berarti melihat secara utuh. Pengaktifan mata batin dan otak spiritual akan menghilangkan pikiran-pikiran fragmentaris.
2. Melihat di balik penampilan objektif. Melihat dengan mata batin juga berarti melihat sesuatu dibalik penampakan fisik objektif merupakan fakta yang tidak ditolak oleh mata batin. Jika seseorang melihat pohon, yang tampak adalah pohon dan segala kehidupan yang ada "di balik" pohon tersebut.
3. Luangkan waktu jeda 10 menit setiap hari.
Tubuh fisik manusia sebenarnya tidak pernah beristirahat. Tidur tidak berarti organ tubuh maupun sel-sel tubuh beristirahat. Otak bahkan bekerja lebih aktif dalam mengonsolidasikan informasi justru ketika orang sedang tidur. Luangkan waktu jeda dari kepenatan pekerjaan sehari-hari untuk men-charger otak spiritual. Berdiam diri di dalam kamar/musholla, berdzikir kepada yang khaliq dan bertafokur secara mendalam.
Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang kita miliki, melalui upaya belajar (learning to do), learning to know (IQ), learning to be (SQ), dan learning to life together (EQ).
ESQ merupakan sebuah perangkat spiritual engineering dalam hal pengembangan karakter dan kepribadian berdasarkan nilai-nilai Rukun Iman, Rukun Islam dan Ihsan, yang pada akhirnya akan menghasilkan manusia unggul di sektor emosi dan spiritual, yang mampu mengeksplorasi dan menginternalisasi kekayaan ruhiah, fikriyah dan jasadiah dalam hidupnya. Melalui usaha yang terus-menerus maka terbentuklah pemahaman, visi, sikap terbuka, integritas. Konsisten dan sifat kreatif yang didasari atas kesadaran diri yang sesuai dengan suara hati terdalam, yang pada akhirnya akan menjadikan Islam tidak sebatas agama spiritual namun juga “The Way of Life”.
Berikut ini adalah upaya-upaya yang bisa kita lakukan untuk menggali potensi diri kita yang sebelumnya sudah ada, melalui ESQ namun kita tidak menyadarinya :
1) Lahirnya alam bawah sadar yang jernih dan suci atau dengan suara hati yang terletak pada god spot yaitu kembali pada hati yang bersifat merdeka serta bebas dari belenggu. Tahap ini merupakan titik telaah dari sebuah kecerdasan spiritual.
2) Menjadikan suara hati sebagai landasan SQ dan dari sinilah awal kecerdasan spiritual ini mulai dibangun. Manusia disini memiliki nilai yang 1 ( satu ) bersifat universal dan ihsan (indah).
3) kesadaran diri (self conciorness ), yaitu tentang arti penting dimensi mental sehingga dapat melahirkan format EQ berdasarkan kesadaran spiritual serta sesuai dengan suara hati terdalam dari dalam diri manusia (self conscience ).
4) pengasahan hati yang dilakukan secara berurutan dan sangat sistematis berdasarkan rukun islam.
Untuk meraih kesuksesan hidup bukanlah hanya ditentukan oleh kecerdasan IQ saja, melainkan justru lebih ditentukan oleh faktor-faktor lain, terutama EQ dan SQ. [Info: berbagai sumber]
No comments:
Post a Comment